Pages

Tuesday, June 2, 2015

... after all these years


There were little voices inside my head that kept on telling me:
'... Maybe one or two little cuts won't hurt this much... ',
' look at how worthless you are, nobody's gonna love you... ', '... You little piece of shit ',

etc.

You stopped them. And words can't describe how much I love you for that................. But now they're back. 'Cause in the end, I'm still a good-for- nothing, even in your eyes.


Tuesday, June 24, 2014

My life with dogs ...


Sekitar dua mingguan yang lalu, mama ada komentar, ketika aku lagi angkat bag dogfood, untuk dipindah ke container Tupperware. Dia bertanya tentang harganya dan apakah mahal... Aku tidak menjawab, karena aku tahu pasti ujung-ujungnya kritik. Tak perlu tunggu lama, kalimat berikutnya yang keluar dari dia adalah betapa sayangnya buang-buang uang untuk beli dogfood, dan tidak ada untungnya memelihara anjing-anjing. 
Bukan sekali ini dia berpendapat begitu... Sebenarnya sudah berkali-kali pula dari sejak kecil dia merasa tidak ada untungnya memelihara anjing. She's not a dog person... Dia lebih berpikir punya peliharaan itu sebagai properti, bukan teman. Mungkin dia sebel banget kali ya, ada satu anaknya yang ini, yang ngeyel banget suka anjing... :D
Zoro - Acel - Puppi
Ya, sekarang ini aku punya 3 ekor anjing di rumah, yang menjadi full responsibility'ku untuk memberi mereka makan. 
Ya, memang aku tidak mendapatkan keuntungan materi apapun dari mereka, karena aku tidak pernah berencana untuk memperanakkan mereka. Toh anjing-anjingku bukan anjing kompetisi. 
Anjing-anjing gak jelas malah... Satu Maltese tanpa stambum. Satu mixed-bred, chow-chow x labrador. Satu lagi, well... gak jelas rasnya apa :p . Gak yakin bakal ada yang mau anakan mereka hihihihi....

Jadi memang, mereka tidak menghasilkan uang. Bahkan mungkin secara materi, aku keluar lumayan banyak untuk mereka, karena dogfood pun aku usahakan bukan yang berkualitas rendah. Tidak sanggup untuk beli yang kualitas super premium juga sih, tapi kuusahakan bukan yang dapat rating rendah juga. Untung ada discount karena langganan juga sih, jadi sedikit membantu harga untukku dikurangin dikit. Tetap saja, bukan harga yang murah. Karena ada yang anjing besar juga, makannya banyak. :p Jadi dalam sebulan kadang bisa harus beli 2 bags. Belum kalau harus check ke vet, atau grooming di salon. Dengan gaji seorang karyawan yang tidak banyak, tentu pengeluaran untuk mereka termasuk cukup lumayan. Kira-kira 20% dari bulanan deh. Kadang untuk mengakali budget yang ketat, terkadang aku juga harus memberi mereka makanan-makanan sisa. Grooming juga tidak bisa rutin. 

Jadi apa untungnya memiliki peliharaan ini?
Aku juga tidak tahu, apa sebab awalnya kok bisa aku jadi dogslover. Waktu kecil juga bukan aku yang meminta ingin punya anjing. Tapi karena memang papa duluan yang membawa pulang seekor anjing yang terlantar di jalan. Dalam hal ini, i am grateful that my dad taught me to be compassionate with strays. Punya anjing tidak harus anjing ras. Anjing kampung pun, sama-sama anjing dan punya hati yang sama sebagai seekor anjing. 
Masa kecil, aku lebih sering sendiri. Karena orang tua juga bekerja full time. Jarang ada quality time dihabiskan bersama. Mungkin itu juga yang menjadi alasan mengapa akhirnya anak-anak diberi peliharaan anjing, biar jadi teman .... Mungkin mamaku nyesel kali ya, akhirnya ada satu yang kebablasan jadi gak bisa hidup tanpa anjing. :p 

Dulu meskipun di rumah ada anjing, aku tidak bisa membela mereka dengan sepenuhnya. Mama lebih suka anjing-anjing berada di dalam kandang besi. Tidak lari kesana kemari dengan bebas. Yaaa karena dulu aku masih kecil, dan tidak punya kebebasan ekonomi sendiri, terpaksa menurut. Meskipun kalau misalnya aku sudah pulang dari rumah, aku lepaskan. Pernah juga ada saatnya, ketika masa SMA, tidak punya anjing. Karena anjing-anjing sebelumnya sudah meninggal, atau ada yang dikasih ke orang untuk pemeliharaan yang lebih baik. Waktu itu juga meskipun aku bisa menyibukkan diri dengan sekolah atau dengan pacar, tetap saja rasanya sepi, ketika malam hari sendirian. 

I am shy... Tidak mudah bagiku untuk bisa nyaman dengan orang lain. Entah kenapa, I always unknowingly created barriers. Mungkin takut. Karena sudah banyak hal-hal yang buruk terjadi di dalam hidupku, yang membuat aku trauma. Sebenarnya sudah dari kecil aku punya symptoms ke clinical depression. Masa tumbuh besarku, meskipun berkecukupan, but I was lonely. Banyak hal-hal yang kusaksikan sewaktu aku tumbuh besar, yang membuat aku kecewa dan skeptical akan kebahagiaan. Sering aku merasa bahwa aku tidak diinginkan. Apa itu kebahagiaan....? Aku tidak punya energi banyak untuk mencari tahu, yang kuinginkan hanyalah orang menginginkanku. 
Aku juga mengidap social anxiety disorder, aku jadi tidak punya banyak teman. Keluargaku, kalau bisa dibilang, kami tidak seperti keluarga ideal pada umumnya, yang bisa punya ikatan bonding satu sama lain. We're basically all alone, but stuck as a family. 

Paling parah adalah ketika akhirnya aku ke Aussie untuk kuliah. Makin tertantang untuk survive seorang diri. Meskipun ada beberapa teman kuliah, kondisiku memang tetap membuat aku tidak bisa begitu mudah nyaman dan akrab dengan orang lain. Don't get me wrong, I'd love to have friends.. Kalau orang bisa sampai bisa masuk and gain my trust, aku bisa jadi orang paling baik and do everything for them. 
Tapi untuk bisa sampai kesitu, umumnya orang tidak mau keluar effort sebanyak itu untuk menjebol barrier-barrier yang kuciptakan. Mungkin memang gak worth it ..... So I spent years all alone. 

Jadi pada saat kuliah itu lah, aku benar-benar punya keinginan, I had to have dog. Kalau tidak aku bisa gila .... Roommate saat itu juga punya anjing, jadi aku makin ingin untuk punya anjingku sendiri. I didn't want to come home feeling all lonely anymore. Aku membeli seekor anak anjing, ketika aku sendiri tidak yakin apakah bisa menjaganya. Memang aku bisa memberi dia makan, tapi aku tidak yakin apakah aku bisa menjadi tuan yang baik buatnya. Mungkin memang egois alasanku saat itu untuk memiliki anjing, seakan-akan aku ingin punya mereka untuk memenuhi keinginanku sendiri, di saat aku sendiri tidak yakin bisa memenuhi kebutuhan dia. Kondisiku menjadi semakin parah dan banyak peristiwa yang terjadi membuat aku semakin crippled untuk bertahan hidup. I had to give away my dog to other friend, yang bisa memberi kehidupan yang lebih baik, untuk kebaikan anjing itu. Lalu aku pulang ke Indonesia, ke rumah orang tua, setelah tidak ada lagi yang bisa kulakukan di Aussie, dengan kondisi mental hancur. Sudah ke tahap suicidal, tidak ada lagi yang membuatku ingin tetap hidup. 

Pada saat itu, di rumah sudah ada 2 ekor anjing itu. Anjing pertama, yang mixed-bred chowchow x labrador, adalah pemberian dari teman mama. Mama sebenarnya tidak masalah punya anjing, asal sebatas properti. Dan sebenarnya yang lebih banyak mengasuh adalah kokoku, yang saat itu sudah selesai kuliah dan kembali ke rumah. Anjing kedua, maltese tanpa stambum itu, juga kokoku yang membeli. Aku sudah pernah bertemu mereka berkali-kali, ketika aku pulang liburan musim panas. Jadi ketika aku kembali permanently ke rumah, anjing-anjing ini tidak merasa canggung untuk menyambutku pulang. 

Jadi, di dalam kondisi terpuruk itu, aku seperti hidup dan mati. Tidak ada energi sedikitpun untuk bangkit. I spent most of the times, locking myself in my bedroom, wishing I wouldn't wake up again. Keluargaku sama sekali tidak punya pengalaman untuk dealing with what I have, and I pushed them away too. I couldn't trust anyone. They hoped aku akan bangkit dengan sendirinya, eventually.... Di saat-saat gelap itu, anjing-anjing kokoku tidak pernah punya prejudice apapun. Mereka tetap menyambutku ketika akhirnya aku keluar dari kamar. Mereka tetap menggoyangkan ekornya ketika aku mendiamkan mereka. Dan mereka tetap ada di sampingku, ketika aku menangis. Itulah kehebatan makhluk ini ... They never judge. They'll be there no matter what. Meskipun aku di saat itu tidak bisa berbuat apapun untuk mereka, mereka tetap mau menghampiriku, dan terkadang berbaring di sampingku. Merekalah, yang membuat aku bertahan. And I am grateful that God lets me to have dogs. 

Perlahan aku bangkit, mungkin dengan alasan yang hanya sepele. Kokoku sudah berkeluarga, dan meskipun aku memegang prinsip kalau sudah berkeluarga, bukan berarti peliharaan tidak lagi dijaga, aku pun tidak berhak memaksa kokoku untuk tetap membiayai anjing-anjing itu. Mungkin perlahan aku memakai keberadaan anjing-anjing itu, untuk pijakan. Aku memutuskan untuk mencari kerja, karena aku ingin punya uang untuk tetap dapat membiayai mereka. Perlahan dengan hadirnya anak-anak di keluarga kokoku, aku juga mengambil alih anjing-anjing itu. Sekarang, mereka lengket mengikutiku kemanapun aku berada di rumah. 

2010, mungkin menjadi tahun yang benar-benar merubah hidupku. Di saat perlahan aku bangkit, hadir pula seseorang itu yang secara hebatnya mampu mendobrak segala barriers tebal yang kubangun, sehingga aku benar-benar merasakan, this is love. Bukan cinta semu yang kualami bersama mantan-mantan yang lain. Dan dari orang inilah, aku mendapat hadiah seekor anjing lagi. Anjing yang special, meskipun bukan anjing mahal. Meski akhirnya hubungan itu harus kandas dengan tragis pula, tapi aku punya kenangan yang indah dan anjing pemberian itu yang selalu menjadi my treasure

... my Zorro ...

Jadi apa untungnya aku tetap ngotot memelihara anjing-anjing itu ?
Mungkin aku bisa lebih kaya, lebih punya banyak uang tanpa mereka. Mungkin lebih mudah juga mencari pendamping, (meskipun secara pribadi aku tidak terlalu ingin mencari lagi juga). Must love dogs, menjadi syarat utama yang tidak bisa dihapus. 
Mengapa aku ngotot tetap memilih mereka....?

Karena sebenarnya dari merekalah, aku belajar untuk hidup, dan mencintai. Tidak terhitung banyaknya aku mengecewakan mereka,... sampai sekarang pun masih. Ketika ada saatnya aku terlalu lemah, dan aku tidak mempunyai energi untuk bermain dengan mereka, mereka tetap mendampingiku, tidur di sampingku. Dan menyambutku dengan senyum lebar keesokan harinya ketika aku bangun tidur, seolah semalam ketika aku tidak memberi mereka perhatian, tidak menjadi masalah bagi mereka.
Mereka juga mengajarkanku untuk tidak mendendam. Meskipun terkadang aku memarahi mereka, mereka tidak lama untuk kembali tersenyum lagi kepadaku. 
Mereka tetap menantikanku, ketika aku harus pergi dari rumah separuh hari untuk bekerja, sehingga mereka harus sendirian di rumah, mereka tidak marah. Di saat aku pulang, mereka tetap menyambutku dengan ramai sekali, no hard feelings. Sepertinya highlight of my days setiap harinya selalu adalah 2 menit dari saat aku menekan bel pintu, dan melihat mereka lari menyongsongku. 
Anjing memberi banyak pelajaran baik dalam hidup, dimana manusia pun terkadang tidak bisa melakukannya. 

Tidak ada keraguan dalam hatiku untuk menyatakan, they love me. It's something that I need. And I love them. Meskipun kami tidak bisa mengerti satu sama lain, tidak ada komunikasi verbal yang berarti, tapi kami tahu, we love each other. 
Dan kalaupun ketika pada saatnya mereka nanti tidak ada, jika kondisi memungkinkan, aku akan tetap memiliki anjing. Apapun kondisinya, aku akan tetap menjadi seorang dogslover. 


Tuesday, April 15, 2014

Why can't people stop littering?


I hate to litter. I am not a clean-freak person; in fact, most of the times I have a messy and quite dirty room 'cause it's a bit hard to keep up to be neat when you're living with three spoiled dogs running around. But still, I don't like to litter, especially in public places. I don't like to see people litter consciously. And even harder when it's your own family apparently likes to litter, in this case, my own mom.

Sebenarnya saya sudah tahu, kalau keluarga saya juga bukan pengikut Go Green Life atau Environmental Friendly People. Bertahun-tahun saya mencoba untuk mengajak keluarga untuk memakai reusable bags ketika belanja, sampai sekarang ini juga masih belum berhasil, mereka masih favorit dengan kantung plastik, yang ujung-ujungnya jadi menumpuk di rumah, nanti malah jadi sampah tempat persembunyian tikus. 
Masalah sampah memang seringkali disepelekan. Kebanyakan dari kita tentu tidak tahu, sampah kita nanti lari kemana. General knowledge sih ya diangkut oleh para pemulung di tempat pembuangan akhir, yang kita juga tidak tahu kan nanti kemana, apakah bisa direcycle atau dihancurkan, atau tetap jadi sampah yang makin hari membusuk ? Jujur saya pun tidak tahu, sampah-sampah saya juga akan end up kemana... Tapi alangkah naif kalau karena alasan itu, kita lantas tidak peduli kemana kita harus membuang sampah.

Cerita ini benar-benar terjadi, tanpa bermaksud untuk menjelek-jelekkan keluarga saya sendiri. Ya tapi karena ini kenyataan... Few weeks ago, I was on a road trip with my family to visit my grandparents' graves. In a car, for 6-7 hours... Seperti biasa kalau sedang road trip, kami selalu membawa cemilan, makanan & minuman, terutama snack-snack untuk keponakan-keponakan saya yang masih kecil-kecil. Mama saya adalah orang yang rajin banget bawa makanan dalam perjalanan. Tapi ketika makanan itu sudah habis, tinggal bungkus-bungkus plastik / daun, dengan gampangnya dia buka jendela dan *wuzz..* buang.... Tidak hanya sekali-dua kali, ini memang benar terjadi setiap saat. Buka jendela, keluarkan sampah, dan *wuzz...* biarlah angin membawa sampah itu entah kemana.


Apakah dia peduli sampah itu nantinya bisa jatuh ke kali? Atau masuk ke rumah orang? No. 
Sungguh ironis kalau sebenarnya mengetahui, she is a clean-freak at home. Di rumah sendiri, beliau adalah orang yang rajin sekali bersih-bersih rumah, dan sering kali memarahi kami atau para pembantu, kalau malas bersih-bersih rumah. Tetapi kalau keluar dari rumah, hohoho beda kasus. (^_^') 
Pada saat road trip kemarin itu, saya menegur dia baik-baik. Saya bilang, "Ma, mbok ojo nyampah..." 
Dan beliau dengan entengnya hanya menjawab, " Halah gak popo, ki lak luar kota .. ".
Mengetahui jawaban itu, tentunya saya juga membalas, karena saya tahu persis kenyataannya di kota kami pun, dia juga sering membuang sampah di jalan. Saya jawab, "Lho wong koe nang Solo ae yo kerep buang sakpenak'e dewe, mbok disimpen sik dinggo ngko dibuang ndek tempat sampah angel'e opo?
Dan lagi-lagi tidak ada jawaban memuaskan dari beliau, intinya gak papa kalau buang sampah sembarangan, nanti juga ada yang membersihkan.

Singkat cerita, sampailah kami di tempat pemakaman. Beliau yang sibuk mengurusi bunga-bunga yang akan disebarkan di atas pemakaman pun, mulai sibuk berkutat dengan keranjang berisi bunganya. Sampai pada akhirnya ketika bunga-bunga selesai dipreteli, ada satu kantong plastik hitam bekas tempat bunga, beliau lempar kemana hayo..... =P . Ke kuburan sebelah. (-_-') .
Tentunya saya juga masih bisa menegur, saya bilang, "Nang kuburan weh kok yo jik nyampah to.. Nang dalan nyampah, nang kuburan yo nyampah.
Mungkin beliau kali ini sedikit tersinggung, karena saya terang-terangan menegur. Beliau malah balik menjawab, jika saya ingin Indonesia bersih, ya silahkan saya jadi Presiden. Kemudian beliau kembali melanjutkan, bahwa Indonesia itu punya SDM yang rendah, manusianya bodoh-bodoh, banyak yang buang sampah sembarangan, tidak bisa dididik untuk disiplin. 

Sebenarnya secara tidak langsung beliau juga sedang membodohkan diri sendiri.
Sangat tergelitik sekali saya untuk menjawab, jika kita memang bisa lebih pintar, mengapa kita harus ikutan jadi bodoh? *sigh* Untungnya saat itu cuaca sedang panas sekali, sehingga saya malas keluarkan energi banyak untuk berdebat.

Kita tidak perlu jadi scientists untuk bisa merubah dunia ini. Kita hanya perlu sedikit kepedulian. Memang kebanyakan dari kita tidak tahu dan tidak cukup intelektual untuk mengetahui bagaimana sampah bisa diolah. Tapi apa salahnya kalau kita sedikit peduli, akan lingkungan kita?
Bayangkan misalnya rumah Anda, tiba-tiba dilempar kantung plastik berisi sampah... Itu yang terjadi kepada binatang-binatang yang tinggal di kali. 
Saya yakin tidak hanya binatang liar yang mengalami ini... Pasti juga ada orang-orang lain yang tidak beruntung, mendapat kiriman sampah dari orang lain di lingkungan mereka.
Kita seharusnya tidak hanya peduli dengan kebersihan lingkungan kita saja, dan tidak peduli dengan rumah orang lain, karena rumah kita sendiri pun adalah rumah orang lain bagi mereka. 

Wednesday, March 19, 2014



I miss having someone to talk to.
Someone who's excited to see me. Who can listen to all my ramblings without interrupting. Who can make me feel comfortable to tell my stories, without feeling ignored. One whom I can trust to talk to without any prejudices. And the closest thing I have is, my dog(s).

I've been searching for it for years. Since my childhood even. I've jumped to many different social circles, just to realize nobody really cared whether I'm around or not. For years I've tried to muster up strength to be social, but honestly it's hard. People don't really get it that for some people like me, even going out for a coffee needs great strength that doesn't come everyday. And when it happens, but then they don't even bother to ask me, or to let me finish my story, it'll become another disappointment that later at night, I blame myself for even trying.
I know, with my conditions, with it's been established that I have clinical depression and social anxiety disorder, it's also hard for people to understand and to like to be around me. Who wants to be around negative person? No one. Which then makes me feel guilty. So most of the times I think it's easier if I choose to just fake it. Show them the 'happy' me. The 'contented' me. That's what people want anyway. 
Even though deeply  I feel hollow and in the end of the day, I'd feel more miserable. Living day by day suffocating from these heavy feelings in my heart, and trying my best to survive.
So, yeah... I miss having someone to talk to. But I guess I really shouldn't hope for much.