Pages

Saturday, December 22, 2012

Pemerintahan yang bersih? Atau masyarakat yang bersih?

Disclaimer : Segala statement yang ditulis berdasarkan opini, bukan bermaksud untuk menjudge pihak tertentu.

Sebagai pribadi, yang sehat jiwa raga, tentunya kita menginginkan hidup di lingkungan yang bagus. 
Benar begitu?
Lingkungan yang bagus, tidak hanya dari keluarga, tapi juga dari lingkungan sekitar kita seperti di hidup bertetangga, bersosialisasi, sistem yang bagus.
Benar begitu bukan?
Lalu kalau kita sebagai masyarakat yang menganut sistem demokrasi, yang bersedia untuk dipimpin oleh suatu sistem pemerintahan, tentunya kita mengharapkan pemerintah yang bersih dan baik.
Bukan begitu?

I am not really interested in politics, to be honest. Never really cared about it, because i used to think everyone in the government is full of BS, and I still do. Meskipun ketika akhirnya saya bisa dapat KTP, dan memiliki hak suara dalam pemilihan wakil, awal-awalnya juga saya abstain. Sikap terserah ini sebenarnya disebabkan dari rasa pesimis, apakah memang negara ini bisa punya pemerintahan yang bagus?
Bukan rahasia lagi kalau pemerintahan Indonesia dari tingkat paling kecil sampai skala yang besar, tidak sepenuhnya bersih. Sudah dari berpuluh-puluh tahun yang lalu ada korupsi, politik, penjilat, dan sebenarnya dari masyarakat pun, meski mungkin tidak semuanya, sudah bersikap kurang lebih "terserah karena tahu-sama-tahu, asal loe gak ganggu-ganggu hidup gw". Ada sih memang orang-orang yang sebagai aktivis memerangi hal-hal yang "menodai" pemerintahan, meski kadang saya ragu, apakah mereka begitu karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk ikut "menodai"? Jangan-jangan seandainya mereka punya kesempatan untuk duduk di tempat yang sama dengan yang mereka perangi, mereka lupa akan hal yang mereka perjuangkan? 
Yes... I am skeptic about it. 

But then, ketika pemerintahan menjadi kacau dan rugi besar-besaran, dan masyarakat merasa dirugikan karena uang negara dilarikan oleh kunyuk-kunyuk yang ada di pemerintahan itu (yang sebenarnya ada disana karena pilihan masyarakat juga, see how ironic it is?), masyarakat pun geram. Jadi maunya apa? Tentu tetep pada impian mempunyai pemimpin dan pemerintahan yang bagus kan?

Lalu gimana memulainya?
Masyarakat kecil, pada umumnya tidak menyadari, betapa suara mereka dan dukungan mereka itu penting. Dan mereka hanya berpatokan pada hidup mereka sendiri, padahal, di dalam gambaran secara global, apa yang terjadi pada skala yang besar, pasti berpengaruh kepada skala kecil. Begitu pula sebaliknya, skala kecil pun, juga berpengaruh ke skala yang besar.
Kurang lebih begitu penggambarannya.
Sejauh ini baru punya kesempatan memilih, yah baru sekitar 5 kali. 3 kali saya abstain, karena waktu itu saya masih jadi "perantau di negara tetangga" dan tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di negara asal. 2 kali berikutnya, saya sudah pulang kampung. Saya pakai untuk memilih walikota saya pada waktu itu, dan untuk memilih presiden untuk skala besarnya. Saya sih punya kesadaran untuk bener-bener MIKIR orang yang mau saya coblos itu yang mana. Meski pada akhirnya, saya pun tidak memahami 100% tentang calon-calon yang ada, karena yah, namanya juga politik, there must be some kind of BS going on during the campaign, tapi setidaknya kita perlu lah untuk sedikit-sedikit tahu.

Sayangnya, terkadang masyarakat kecil, tidak terlalu berpendidikan untuk mengerti hal-hal rumit di pemerintahan, dan tidak mempunyai akses untuk tahu tentang hal-hal itu. Contoh, keluarga petani atau buruh di pedesaan atau pelosok, apa mereka mengerti tentang rumitnya subsidi, anggaran, instruksi presiden, dll ? Mereka hanya tahu tentang gimana mereka bisa hidup hari ini, dan berharap masih bisa survive besok-besoknya. Dan sayangnya hal ini pula yang bisa dimanfaatkan bagi "calon" pemimpin.

Ini kisah nyata, terjadi di lingkungan saya. 
Kebetulan (gak juga sih, tidak ada yang kebetulan di dunia ini...), saya bekerja di lingkungan pedesaan. Yah meskipun gak desa-desa amat, masih pinggiran kota, dan di sebuah perusahaan yang lumayan besar, sebagian besar karyawannya masih tinggal di daerah desa. You know... Yang alamatnya masih bukan berupa Jalan Blablabla... Mereka masih memakai sistem alamat Desa Prikitiew, Kecamatan Oh-Lala, dst. 
Dan apa yang terjadi ketika ada pemilihan Kepala Desa, Kepala RT, Lurah, dsb?
Hal yang sering saya dengar sih, mereka lebih sering tidak "berpartisipasi" dengan benar.
Sering saya dengar, dalam pemilihan Kades, ada yang sampai habis ratusan juta. Untuk biaya kampanye. Yang sebagian sih, habis bukan di kampanye, tapi di "menyogok". Ada yang bagi-bagi sembako ke masyarakat. Ada yang bagi-bagi kain batik ke setiap warga. Dan bukan rahasia lagi, bagi-bagi amplop. Yang isinya jelas uang tunai. Bisa Rp.20.000,-. Bisa Rp.50.000,-. Bahkan ada yang pernah menerima Rp.100.000,-. Untuk apa? Pendukung calon tentunya beralasan, itu bukan sogokan, meskipun sebenarnya, ngaku saja lah, ada harapan di balik bagi-bagi itu, untuk dipilih pada waktu nanti hari H-nya.

Karena secara tidak langsung, "budaya amplop" ini mendidik masyarakat, untuk mengharapkan diberi sesuatu, ketika ada pemilihan. Bukti langsung sih ada... Beberapa dari rekan kerja ada yang berkata dengan jelas, "Milih sopo yo? Yo garek sopo sing ngamplopi...." (Milih siapa ya? Ya tinggal siapa yang kasih amplop...)
Ada juga yang berkata, ketika ditanya kenapa dia tidak ijin cuti masuk kerja ketika ada pemilihan ketua RT di tempat tinggalnya, "Males i teko, lha wong kenal calon'e sopo ae ora. Sak-sak'e wis." - Malas datang (untuk memilih), kenal calonnya siapa saja tidak. Terserah saja lah.
Dan ada yang lain mengompori, "Yo ra sah teko, bener. Ra entuk amplop to..." (Ya gak usah datang, benar. Gak dapat amplop kan..."
Kok mereka mau terima amplop?
Karena dapat uang cash langsung lebih enak daripada menunggu hasil pemerintahan bersih yang mungkin baru ada setelah berpuluh-puluh tahun lagi.

Dan ini lingkaran setan, saudara-saudara!
Karena masyarakat yang tidak peduli ini, melatih para calon-calon untuk mengeluarkan kocek untuk membeli suara mereka. Modal mereka juga besar. Yang tentunya akan mereka ambil balik modalnya dari mana? Ya dari waktu mereka menjabat donk.
Ketika sudah balik modal pun, apa yang menghalangi mereka untuk tidak mengambil lebih? Tidak ada. Kecuali ketahuan.....
Dari badan keamanan pun tidak lepas dari trik kotor. Banyak orang-orang yang mau masuk ke TNI atau angkatan lainnya, harus memberi "upeti" dulu ke pimpinan supaya diterima. Polisi terima suap tilang pun sudah bukan rahasia. Calon PNS pun gak lepas dari "upeti". Mereka mendaftar jadi PNS, ada beberapa yang harus "membayar". Jika orang-orang seperti ini duduk di dalam pemerintahan, apakah ada jaminan mereka bekerja dengan bersih?
Ini tidak hanya terjadi di lingkungan saya. Saya sih yakin ini ada dimana-mana. Seremnya sih kalau sampai skala nasional pun, hal budaya ini masih ada.

Lalu, pantaskah masyarakat yang "menjual suara" ini protes, ketika nanti ujung-ujungnya, keadaan lingkungan mereka penuh dengan korupsi, suap, kongkalikong?
Kalau mau mawas diri sih, seharusnya tidak. Karena jujur saja, menurut saya, mereka juga yang "encourage that kind of behavior".

Darimana bisa ada pemerintahan yang bersih, jika masyarakat yang dipimpin pun tidak bersih?
Begitu juga, darimana ada masyarakat yang bersih, jika tidak dipimpin dengan benar?
Bukankah naif, jika kita mengharapkan suatu pemerintahan yang bersih, jika sikap kita sebagai masyarakat pun tidak bersih?

Itulah rumitnya bermasyarakat....